Pernahkah merasakan yang namanya frustasi?
Ya,itu haampir dirasakan oleh setiap manusia berakal
tentunya, dan apabila tak teratasi bias-bisa jadi gila.
Terkadang aku sering merasakan, hidupku sungguh rumit dan
sering merasa terjebak dengan yang namanya ketidakpastian. Saat ini, aku ingin
membagikan sedikit pengalamanku, my journey life, kepada kalian.
Tuhan adilkah? Sering aku bertanya pada diriku. Selama aku
menginjak bangku kelas III SMA tepatnya. Kehidupanku disibukkan dengan berbagai
macam tugas tetek bengek yang tak menentu dari guruku. Tak jarang aku sering
terlambat makan hanya demi menyelesaikan tugas tersebut. Perfeksionis. Ya,
dalam tiap tugas, aku ingin selalu berbeda dibanding yang lain. Ketika mendapati
teman memiliki nilai lebih tinggi dariku, aku merasa iri. Too much sins when I got
that s*** seat. Ditambah lagi, saat itu masa-masa ujian mulai tiba. Persaingan
untuk mendapatkan bangku di universitas negeri sangat dirasakan di SMA kami. Sekolah,
pulang, kursus, pulang, belajar, tidur sebentar, kembali sekolah lagi, itulah
yang kurasakan masa itu. Too much pain, no hapinnes. Sikap individualistis,
egois berkembang dengan cepat di antara kami. Keinginan untuk mendapat ilmu
lebih banyak juga dirasakan oleh masing-masing pribadi kami. Apalagi saat
setelah aku menerima tanda kelulusanku saat itu. Rasanya ingin cepat-cepat
berganti status dari labelan ‘pengangguran’. Di saat hari-hari yang penuh
perjuangan itu, masih saja ada orang yang berleha-leha, mejeng di mall bersama
dengan geng-geng mereka. Aku terkadang bingung, mengapa mereka bisa segampang
itu menganggap remeh SBMPTN? ‘Tapi, ya sudahlah, biar berkurang saingan’,
pikirku. Saat itu kami juga sangat menunggu keajaiban pengumuman jalur SNMPTN
(undangan). Aku masih barharap banyak di situ, padahal aku cukup tahu, nilai
dari sekolah kami termasuk nilai rendah karena pihak sekolah tidak mau
mencurangi nilai anak didiknya dibandingkan nilai dari sekolah lain di daerah
kami saat itu. Pengumuman undangan tiba, dan aku dinyatakan TIDAK LULUS. Kecewa, ya. Menangis, ya. Di saat
teman-temanku membawa kabar berita baik bagi keluarga mereka, terutama orangtua
mereka, aku malah hanya mengecewakan mereka sebagai anak. ‘ Tidak apa, Nak.’ Ucap
mereka seraya tersenyum menguatkanku, meskipun aku tahu bahwa mereka hanya
bertopeng muka.
Hal itu menjadi batu sandungan bagiku. Aku semakin giat
belajar, tidur terkadang hanya 2 jam sehari. Aku sering mengadakan diskusi
intern dengan grup belajarku dan guru di tempat kursusku. Aku berusaha, dan
berdoa agar aku mendapat bangku PTN kelak. Akhirnya kuberanikan diriku untuk
mendaftar. Dengan penuh rasa deg-degan aku memilih calon jurusan ku kelak, di
unuversitas yang kuidam-idamkan sejak SMP.
Hari penentuan pun dimulai. Hari pertama berlangsung dengan
begitu kusyuk. Tak lupa aku mengucapkan namaNya di setiap pembulatan jawabanku.
Sukses. Itulah yang aku defenisikan di hari itu. Ku coba nenyenangkan hati
orang tuaku dengan mengatakan, ‘Aku bisa, Ma, Pak.’ Dan aku juga yakin aku
pasti bisa dalam nama Yesus.
Hari kedua, aku melakukan kesalahan yang begitu fatal. Aku lupa
menulis kode soalku. Aku berkali-kali mencoba agar mereka membolehkanku mengisi
kembali lembar jawaban yang telah terkumpul. Namun semua terlambat. Aku menangis
sejadi-jadinya. Teman-temanku berusaha menghiburku, termasuk my boyfriend yang
iyanya sampai mau datang melihat keadaanku. Frustasi. Itulah yang kurasakan
saat itu. Aku sudah tahu kegagalan akan menghampiriku, just wait that time’ll
show up. Aku telah mengecewakan mereka,
orang-orang yang telah mendukungku, orangtuaku. Meskipun mereka berkata, ‘U
still have chance, don’t give up, Adel.’ Aku tahu itu hanyalah basa-basi biasa
untuk menghiburku. Setiap malam aku menangis, uring-uringan seperti orang
bodoh, jarang makan, dan malas melakukan segala sesuatu. Ujian-ujian mandiri
yang kulakukan juga tak menghasilkan apa-apa, malah hanya menambah kabar
kegagalan saja. Tuhan adilkah?
Pada saat medengar hari pengumuman, aku hanya bisa mendengar
mereka yang tadinya hanya menghabiskan uang orang tua mereka menang, membawa
sukacita di keluarga mereka. Sedangkan aku, si perfeksionis yang belajar
mati-matian, hanya bisa menangisi kehidupanku yang begitu tak terasa adil. Aku
pernah sekali menghujatNya, lalu aku menangis kembali dan memohon pengampunan
dariNya.
Adilkah Dia?
Ya, Dia adil. Dia benar ada saat kita membutuhkanNya. Semua
akan indah pada waktunya. Inilah aku sekarang di perguruan tinggi kedinasan
STMKG Jakarta. Dulu aku hanya iseng –iseng mendaftar di tempat ini, dan
ternyata lulus sampai tahap akhir di sini. Di sinilah aku menjalani
persahabatanku, kehidupanku, mengasahku menjadi orang yang benar-benar tangguh,
bertemu dengan orang bermacam karakter. Aku bangga kepadaNya. Ia tidak pernah
meninggalkan kita. Tuhan selalu memanjakan kita dengan kasihNya melalui cara
yang tak terduga. Kita sebagai manusia hanya dapat merencanakan, biarlah Ia
mengabulkan rencana itu dengan caraNya sendiri. Tangan Tuhan selalu bekerja
atas kita. Jangan merasa Tuhan tidak adil kepada kita. Semua itu membutuhkan
waktu. Dalam setiap pergumulan yang kita hadapi, yakinlah, there is a way to
solve your problem. Remember, you’ve a big God than your prob J
KIni aku dapat membahagiakan orangtuaku, membuat mereka
tersenyum. Tak terasa sebentar lagi aku akan mendapatkan wisuda D1 ku,
melaksanakan PKL di daerah yang Dia sudah rancang untukku.
Ingatlah, sebanyak apapun masalah yang menghadang di depan
kita, besar kecil, tetap Trust in God. Ia akan membimbingmu melalui halangan
itu dengan cara yang gak bakal kamu sangka. Terimakasih. May God lead and bless
you.
Kisah ini diinspirasi dari kisah Ayub.
Selamat hari Pentakosta.
0 komentar:
Posting Komentar