Minggu, Juni 08, 2014

Is He Fair?

Pernahkah merasakan yang namanya frustasi?
Ya,itu haampir dirasakan oleh setiap manusia berakal tentunya, dan apabila tak teratasi bias-bisa jadi gila.
Terkadang aku sering merasakan, hidupku sungguh rumit dan sering merasa terjebak dengan yang namanya ketidakpastian. Saat ini, aku ingin membagikan sedikit pengalamanku, my journey life, kepada kalian.
Tuhan adilkah? Sering aku bertanya pada diriku. Selama aku menginjak bangku kelas III SMA tepatnya. Kehidupanku disibukkan dengan berbagai macam tugas tetek bengek yang tak menentu dari guruku. Tak jarang aku sering terlambat makan hanya demi menyelesaikan tugas tersebut. Perfeksionis. Ya, dalam tiap tugas, aku ingin selalu berbeda dibanding yang lain. Ketika mendapati teman memiliki nilai lebih tinggi dariku, aku merasa iri. Too much sins when I got that s*** seat. Ditambah lagi, saat itu masa-masa ujian mulai tiba. Persaingan untuk mendapatkan bangku di universitas negeri sangat dirasakan di SMA kami. Sekolah, pulang, kursus, pulang, belajar, tidur sebentar, kembali sekolah lagi, itulah yang kurasakan masa itu. Too much pain, no hapinnes. Sikap individualistis, egois berkembang dengan cepat di antara kami. Keinginan untuk mendapat ilmu lebih banyak juga dirasakan oleh masing-masing pribadi kami. Apalagi saat setelah aku menerima tanda kelulusanku saat itu. Rasanya ingin cepat-cepat berganti status dari labelan ‘pengangguran’. Di saat hari-hari yang penuh perjuangan itu, masih saja ada orang yang berleha-leha, mejeng di mall bersama dengan geng-geng mereka. Aku terkadang bingung, mengapa mereka bisa segampang itu menganggap remeh SBMPTN? ‘Tapi, ya sudahlah, biar berkurang saingan’, pikirku. Saat itu kami juga sangat menunggu keajaiban pengumuman jalur SNMPTN (undangan). Aku masih barharap banyak di situ, padahal aku cukup tahu, nilai dari sekolah kami termasuk nilai rendah karena pihak sekolah tidak mau mencurangi nilai anak didiknya dibandingkan nilai dari sekolah lain di daerah kami saat itu. Pengumuman undangan tiba, dan aku dinyatakan  TIDAK LULUS. Kecewa, ya. Menangis, ya. Di saat teman-temanku membawa kabar berita baik bagi keluarga mereka, terutama orangtua mereka, aku malah hanya mengecewakan mereka sebagai anak. ‘ Tidak apa, Nak.’ Ucap mereka seraya tersenyum menguatkanku, meskipun aku tahu bahwa mereka hanya bertopeng muka.
Hal itu menjadi batu sandungan bagiku. Aku semakin giat belajar, tidur terkadang hanya 2 jam sehari. Aku sering mengadakan diskusi intern dengan grup belajarku dan guru di tempat kursusku. Aku berusaha, dan berdoa agar aku mendapat bangku PTN kelak. Akhirnya kuberanikan diriku untuk mendaftar. Dengan penuh rasa deg-degan aku memilih calon jurusan ku kelak, di unuversitas yang kuidam-idamkan sejak SMP.
Hari penentuan pun dimulai. Hari pertama berlangsung dengan begitu kusyuk. Tak lupa aku mengucapkan namaNya di setiap pembulatan jawabanku. Sukses. Itulah yang aku defenisikan di hari itu. Ku coba nenyenangkan hati orang tuaku dengan mengatakan, ‘Aku bisa, Ma, Pak.’ Dan aku juga yakin aku pasti bisa dalam nama Yesus.
Hari kedua, aku melakukan kesalahan yang begitu fatal. Aku lupa menulis kode soalku. Aku berkali-kali mencoba agar mereka membolehkanku mengisi kembali lembar jawaban yang telah terkumpul. Namun semua terlambat. Aku menangis sejadi-jadinya. Teman-temanku berusaha menghiburku, termasuk my boyfriend yang iyanya sampai mau datang melihat keadaanku. Frustasi. Itulah yang kurasakan saat itu. Aku sudah tahu kegagalan akan menghampiriku, just wait that time’ll show up.  Aku telah mengecewakan mereka, orang-orang yang telah mendukungku, orangtuaku. Meskipun mereka berkata, ‘U still have chance, don’t give up, Adel.’ Aku tahu itu hanyalah basa-basi biasa untuk menghiburku. Setiap malam aku menangis, uring-uringan seperti orang bodoh, jarang makan, dan malas melakukan segala sesuatu. Ujian-ujian mandiri yang kulakukan juga tak menghasilkan apa-apa, malah hanya menambah kabar kegagalan saja. Tuhan adilkah?
Pada saat medengar hari pengumuman, aku hanya bisa mendengar mereka yang tadinya hanya menghabiskan uang orang tua mereka menang, membawa sukacita di keluarga mereka. Sedangkan aku, si perfeksionis yang belajar mati-matian, hanya bisa menangisi kehidupanku yang begitu tak terasa adil. Aku pernah sekali menghujatNya, lalu aku menangis kembali dan memohon pengampunan dariNya.
Adilkah Dia?
Ya, Dia adil. Dia benar ada saat kita membutuhkanNya. Semua akan indah pada waktunya. Inilah aku sekarang di perguruan tinggi kedinasan STMKG Jakarta. Dulu aku hanya iseng –iseng mendaftar di tempat ini, dan ternyata lulus sampai tahap akhir di sini. Di sinilah aku menjalani persahabatanku, kehidupanku, mengasahku menjadi orang yang benar-benar tangguh, bertemu dengan orang bermacam karakter. Aku bangga kepadaNya. Ia tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan selalu memanjakan kita dengan kasihNya melalui cara yang tak terduga. Kita sebagai manusia hanya dapat merencanakan, biarlah Ia mengabulkan rencana itu dengan caraNya sendiri. Tangan Tuhan selalu bekerja atas kita. Jangan merasa Tuhan tidak adil kepada kita. Semua itu membutuhkan waktu. Dalam setiap pergumulan yang kita hadapi, yakinlah, there is a way to solve your problem. Remember, you’ve a big God than your prob J
KIni aku dapat membahagiakan orangtuaku, membuat mereka tersenyum. Tak terasa sebentar lagi aku akan mendapatkan wisuda D1 ku, melaksanakan PKL di daerah yang Dia sudah rancang untukku.
Ingatlah, sebanyak apapun masalah yang menghadang di depan kita, besar kecil, tetap Trust in God. Ia akan membimbingmu melalui halangan itu dengan cara yang gak bakal kamu sangka. Terimakasih. May God lead and bless you.

Kisah ini diinspirasi dari kisah Ayub.

Selamat hari Pentakosta.

0 komentar:

Posting Komentar