Keluarga.
Satu kata yang bermakna bagiku.
Ketika aku jatuh, ketika aku bahagia, mereka selalu ada di sana, bersamaku,
mengajarkanku akan apa arti kehidupan itu, bertahan hidup, dan makna dari
kasih, tulus, tiada menuntut balas. Bersama keluarga, aku mengarungi kehidupan
ini. Meski terpisah untuk waktu yang cukup lama namun aku tahu, jauh di lubuk
hatiku, selalu ada satu kata, setia, setia kepada mereka. Ya, mereka,
keluargaku..
Apakah keluarga itu? Adalah
ikatan perjanjian dari seorang lelaki dan wanita untuk mengarungi sebuah
bahtera kehidupan bersama yang dilegitimasi oleh sebuah perkawinan. Jika lebih
besar lagi, mereka dikaruniai seseorang atau beberapa anak yang merupakan
anugerah dari Tuhan. Segera setelah seorang anak itu bertumbuh besar, dia akan
mulai sebuah pendidikan dasar dalam sebuah keluarga oleh ayah dan ibunya.
Tidaklah yang sesimpel yang kita kira. Membina seorang anak sangatlah sulit,
ibaratnya memanusiakan seorang manusia. Berbagai masalah mungkin datang silih
berganti dalam kehidupan sebuah keluarga, mulai dari ekonomi, bahkan mungkin
sedikit bumbu percekcokan antara ayah dan ibu. Yah, begitulah kehidupan.
Seperti yang kalian alami, dan begitu pula aku.
Aku dibesarkan oleh ayah dan ibu
yang benar-benar tangguh. Ditengah kerasnya hidup, memulai sebuah bahtera rumah
tangga dari nol, membesarkan ketiga orang anak mereka dengan gigih, dengan
pegangan hidup, kebahagiaan anaklah yang paling utama, hingga perjuangan mereka
membawaku sampai ke titik ini. Seorang kakak perempuan dan adik perempuan yang
dikaruniakan kepadaku merupakan sebuah hadiah terbesar bagiku. Dari sana, aku
mengetahui bagaimana arti mengalah, tidak serakah, dan ikhlas berbagi. Bagi
kedua orangtuaku, pendidikan anak-anak mereka adalah yang paling utama. Cinta
merekalah yang membuat aku bertahan sampai sejauh ini. Keinginan untuk
membanggakan keluargaku, merupakan sebuah kewajiban utama bagiku. Di sinilah
aku sekarang, di sebuah kota metropolitan dengan berbagai rona-rona kehidupan.
Untuk sesaat aku bingung apakah
yang harus kulakukan untuk tidak merengek minta pulang kepada orang tuaku. Saat
menginjakkan kaki keluar dari lingkup kedua orangtuaku menuju ke kehidupan tak
ku kenal yang harus kuadaptasi rasanya sangatlah sulit. Segalanya serba runyam,
tapi aku tahu aku tidak sendiri, ada Tuhan dan ada kakakku yang menemaniku
melewati masa itu. Dari sinilah aku belajar, bagaimana cara mengatur diri
sendiri tanpa ada orangtua yang selalu mengingatkanku untuk makan tepat waktu,
dan pelbagai hal lainnya. Di sini aku belajar, bagaimana caranya mengatur
keuanganku dengan sebaik-baiknya tanpa meminta lebih kepada orangtuaku,
menghadapi berbagai karakter manusia yang berbeda dari yang selama ini ku
kenal, serta bagaimana caranya agar aku menjaga rasa percaya orangtuaku
kepadaku. Di sini aku benar-benar diajarkan untuk mandiri. Terkadang rasa
khawatir orangtuaku yang berlebihan membuatku sedih, di mana mereka selalu
menanyakan kabarku setiap jam tiap harinya, sekadar menanyakan kabar, betah
berada di sini atau tidak. Yah, begitulah orangtuaku. Terkadang aku bosan
karena mereka selalu menanyakan hal yang sama berulang kali kepadaku. Namun,
aku mencoba meredam kekesalanku itu, di situlah aku diajarkan untuk sabar J. Di sisi lain, ketika
masalah muncul, aku mencoba untuk tidak menangis kepada kedua orangtuaku
seperti saat aku masih berada di bawah ketiak mereka dulu. Tak kala aku merasa
problema itu terlalu berat, ataupun suatu kejadian menimpaku, aku mencoba untuk
tidak menceritakannya kepada mereka, tetapi aku mensharingkannya dengan
sahabatku dan kakakku, meskipun pada akhirnya mereka mengetahuinya, entah itu lewat
insting seorang ibu, atau laporan dari kakakku.
Sebentar lagi aku akan pergi
melakukan adaptasi di sebuah daerah yang masih dirahasiakan. Aku akan melakukan
praktek kerja lapangan (PKL) yang diwajibkan oleh instansi tempat aku belajar.
Aku tahu, bagaimana rasa kekuatiran kedua orangtuaku terhadapku kelak.
Bagaimana caraku beradaptasi di lingkungan baru, dengan orang-orang baru, dan
bagaimana aku bakal diperintah oleh seorang atasan kelak. Bagaimanakah aku,
seorang anak yang hanya bisa memasak telur, nasi dan rebusan sayur, yang setiap
sebulan sekali dilihat keadaannya oleh kakak kandungnya bisa bertahan di tempat
baru tersebut? Meskipun orangtuaku tidak pernah menceritakan rasa khawatir
mereka terhadapku, aku dapat mengetahuinya dari kakakku yang menceritakan
kepadaku seraya menangis.
Entahlah, aku juga tidak tahu
apakah aku dapat bertahan atau tidak kelak. Sebagai pegawai baru juga mungkin
aku akan sering diperingatkan oleh atasan ku, dsb. Berbagai masalah baru
mungkin akan mengikutiku kelak. Tapi aku yakin, bersama Tuhan, dengan pondasi
pendidikan dasar dari keluargaku, aku pasti bisa melewatinya. Aku yakin.
Meskipun terkadang ketakutan melintas sejenak dalam pikiranku, aku tahu, aku
pasti bisa. Aku pasti bisa menjaga
kepercayaan mereka terhadapku. Inilah sepenggal kisah dari seorang anak dalam
sebuah keluarga sederhana yang memegang janji untuk selalu berusaha
membanggakan kedua orangtuanya.
Keluarga.
Yah, dengan berbagai lika-liku
kehidupan, berbagai kisah bahagia dan
kesedihan, yang tak mampu diceritakan hanya dengan seratus pena dan beribu
halaman kertas. Keluarga, yang melahirkan seseorang bakal menjadi apa kelak.
Keluarga, yang notabene adalah sebuah pondasi untuk melahirkan keluarga baru.
Ceritaku takkan berakhir di sini, melainkan akan terus berlanjut dan berlanjut,
begitu pula dengan keluargaku. Aku
bangga memiliki mereka, keluargaku.
*lembaran ini sudah cukuo lama aku pendam, baru sekarang bisa mempostingnya, walaupun terlambat, aku harap bisa membuka sedikit pikiran sobat tentang keluarga kita.
0 komentar:
Posting Komentar